DASAR-DASAR JURNALISTIK (pertemuan pertama by Deddi Iswanto)
A. Makna, Definisi, Arti Jurnalis/tik;
Jurnalis menurut kamus populer bermakna sama dengan wartawan
Sementara Jurnalistik adalah persuratkabaran.
Dan ketika menyimak isi dialog film tentang Journalistic Integrity “Read Between The Lies”Jurnalis bisa bermakna sbb;
…”Jurnalism is about pursuing the truth and I never encourage you to do anything sneaky or dishonest in pursuit of a story, such as assuming a phony identity…”
Bila di Indokan kira-kira seperti ini:
Jurnalist adalah tentang mengejar kebenaran dan saya tidak pernah menganjurkan anda untuk melakukan apapun secara berterus terang atau ketidakjujuran dalam mencari berita, seperti memalsukan identitas.
Jadi jurnalistik itu merupakan segala bentuk kegiatan yang berhubungan denganpemberitaan, melaui pencarian berita oleh jurnalis, mengedit, mengemas dalam media tertentu dan menyebarkannya kepada khalayak melalui pamflet, newsletter, koran, majalah, radio, film, televisi, internet dan buku.
B. Sejarah Jurnalistik;
Menurut tuturan sejarah Jurnalisme adalah alat pemasok kebutuhan orang berkomunikasi. Komunikasi, sebagai alat penting bagi manusia, merupakan sarana bagi orang dalam bertukar informasi. Sejak masa prasejarah, komunikasi dilakukan melalui aneka cara; segala jenis informasi disebar melalui para dukun, peramal, orang bijak, dsb. Semuanya, menurut Aleksander Rozhkov dalam sebuah disertasi nya dosen sejarah jurnalisme ini mengatakan bentuk komunikasi masa prasejarah tersebut dapat dilihat melalui lukisan batu, perkamen atau bangunan.
Dengan begitu komunikasi banyak berubah bentuk, dari sejak awal kehidupan bermasyarakat, manusia mempergunakan berbagai medium untuk berkomunikasi.
Orang-orang kemudian memindahkan bahasa, sebagai alat mengantarkan pikiran dan perasaan itu, kedalam catatan-catatan yang bersifat kronikal, riwayat, biographis, sejarah, perjalanan dan berbagai bentuk surat menyurat-dari yang bersifat pribadi sampai dengan pesan-pesan kerja, dari yang menyajikan khotbah (nasihat) sampai kerjaan omong kosong mereka-ulang cerita dan selebaran-selebaran. Semua itu bisa ditemukan, misalnya, di fase-fasereligiusitas menguasai masyarakat. Para ahli sejarah kerap memaparkan dokumen-dokumen catatan kronikal peristiwa, riwayat para penyebar keagamaan atau kisah-kisah ketokohan seseorang. Di fase perdagangan mulai digerakkan para raja, diwilayh-wilayah kerajaan yang menggunakan uang (sebagai pengganti barter),selebaran-selebaran ( newsletter) dibuat untuk mengimformasikan barang-barang, kedatangan kapal-kapal dagang yang berlabuh, dan harga-harga yang ditawarkan.
Sampai kemudian ketika jurnalisme ditemukan: sebagai sebuah kegitan melaporkan berbagai kejadian/peristiwa yang terjadi di masyarakat. Namun, kemudian dipakai sebagai alat penyalur tekanan sosial politik. Dan perkembangannya terkait dengan ditemukan mesin cetak sebagai wahana yang mengganti oral, dari mulut ke mulut, ketika menyampaikan informasi (kisah-kisah kronis, pelaporan, ataupun pamflet). Bentuk cetakan, khususnya surat kabar, merupakan awal junia jurnalisme mengabarkan sebagai kejadian masyarakat.
Produk pertama jurnalistik dalam bentuk newsheet yang bersirkulasi di Roma, dinamakanActa Diurna. Harian yang terbit pada abad ke-5 sebelum masehi, yang digantungkan di alun-alun kota, ini merekam segala kejadian sosial dan politik.
Pada abad pertengahan, jurnalisme mengenali bentukan pengiriman laporan, tinjauan perkabaran, dll, yang diedarkan sebagai institusi untuk tujuan yang bersifat informatif. Fase ini dikenal sebagai masa peredaran sirkulasi flying papaers. Ditemukannya prose cetak, yang mendorong mobilitas lebih jauh peredaran dan pengiriman informasi, oleh I.Guttenberg pada tahun 1440, telah menancapkan pengembangan media cetak (pers) dan tentu saja, jurnalisme. Eropa Barat, sebagai tanah kelahiran institusi sosial “mesin pers”, bisa dinilai sebagai wilayah awal pertumbuhan jurnalisme. Misalnya, Belgia menjadi tempatNiewe Tydingen (yang berarti “All News”, atau kumpulan berita), surat kabar pertama di terbitkan melalui perusahaan cetak VrammaVergevena, di Antwerp pada tahun 1605.
Diberbagai tempat lain, dalam catatan ensiklopedi BRITANNICA (2000), terdapat pula di German, kota-kotanya memunculkan berbagai terbitan cetak reguler. Di Inggris, cetakan pertamanya adalah Weekly News, pada tahun 1622. salah satu terbitan awal surat kabar hariaanya adalah the Daily Courant, pada tanggal 11 Maret 1702.
Catatan sejarah juga menyebutkan embrio media jurnalistik cetak di kawasan Asia.
Di Cina, pada sepanjang dinasty T’ang, dilingkungan istana, ada beredar media bernama pao, yang berarti “report” (laporan), yang melaporkan berbagai informasi seputar pejabat pemerintahan. Sementara Rozhkov mencatat bahwa surat kabar yang terbit dilingkungan istana tersebut itu bernama Dibao, pada abad VIII. Bentuk surat kabar muncul dan hilang, dengan berbagai nama dan bentuk, pada akhir dinasty Ch’ing, tahun 1911. selain Cina, di Jepang pun muncul. Dari lempengan tanah lempung (Clay boards), di temukan namalomiori Kavaraban (“to read and to hand”). Semua itu menurut Rozhkov bisa dikatakan sebagai fenomena para newspaper.
Pemunculan koran-koran cetak itu bukan tanpa halangan, atau tekanan, sensor, pembatasan pemberitaan, dan beban pajak adalah di antara beban yang diterakan kepada pengelolaan media, namun di tengah keaadaan seperti itu, pada abad ke-18, berbagai terbitan jurnalisme awal tetap bernunculan. Misi yang diembannya adalah kebebasan berpendapat dan menyalurkan kebutuhan masyarakat. Awalnya di desak oleh kemammpuan melek huruf masyarakat, namun sejalan dengan perkembangan mesin dan electrik, sirkulasi harian koran meningkat dari jumlah ribuan dan ratusan ribu sampai jutaan eksemplar.
Bentuk majalah, terbit sejak abad ke-17, melalui bentuk-bentuk jurnal. Dimulai dengan berisi artikel-artikel opini yang mengomentari berbagai kejadian aktual. Tatler (1709-11) dan Spectator (1711-12) adalah contoh awalnya. Tahun 1830-an, sirkulasinya melebar dan menyentuh khalayak berpendidikan, melalui majalah-majalah ilustratif dan wanita.
Pendanaan yang besar untuk pengumpulan berita di awali melalui format kantor berita,sebuah organisasi yang menampung liputan-liputan jurnalistik internasional dan menjualnya kepada berbagai koran dan majalah. Kemunculan radio dan televisi, pada abad ke 20, telah meluaskan segala komunikasi cetak dan elektronik ke dalam produk jurnalistik. Penemuan telegraf dan kemudian radio dan televisi menyempurnakan kecepatan dan ketepatan aktivitas jurnalistik. Pada waktu yang bersamaan, khalayak mendapat saluran dan distribusi muatan berita yang masif. Satelit abad ke-20 telah membuat pengiriman informasi jurnalistik yang memiliki jarak tempuh lebih panjang.
Dan kini kita mengenali kegiatan jurnalistik mengumpulkan, meyiapkan dan mengedarkan berbagai berita atau opini melalui pamflet, newsletter, koran, majalah, radio, film, televisi, internet dan buku.
Walaupun esensi jurnalisme itu adalah berita, namun dalam perkembangannya telah mendapatkan banyak pemaknaan. Istilah “hard news” tidak lagi mengartikan “news value”yang amat penting, ia telah jadi marginal karena konsekwensi dari kehadiran pemberitaan radio dan televisi, yang menyajikan berita kepada orang banyak dengan kecepatan waktu yang tak dapat ditandingi oleh media pers. Untuk menjaga khalayaknya surat kabar telah meningkatkan jumlah penyajian interpretive material, berbagai artikel yang melatar belakangi sebuah pemberitaan, usulan-usulan pendek dan kolomnis yang dengan ketepatan dan kepiawaiannya mengomentari. Pada pertengahan tahun 1960, banyak surat kabar, terutama yang terbit sore dan edisi minggu, telah memakai tehnik penyajian majalah, terkecuali untuk isi “hard news” dengan ketatnya aturan objektivitas-ketradisonalannya. Majalah-majalh berita telah membuat pemberitaan mereka berdarah-darah dengan komentar-komentar editorial.
Jurnalisme dalam perkembangannya memang punya keliaran dinamika. Dekade paska PD II di antaranya menggambarkan perghulatan jurnalisme dengan berbagai laporan dan analisa kampanye pemilihan, skandal-skandal politik, hubungan-hubungan gelap, dan temuan “New Journalism” melaui penulisan Truman Capote, Tom Wolfe dan Norman Mailer.
Abad ke-20 telah mengisahkan bagaimana penolakan jurnalisme terhadap pembatasan yang dilakukan pemerintah. Di negara-negara berpemerintahan komunis, pers dimiliki oleh negara, para wartawan dan pemimpin redaksinya menjadi pegawai pemerintah, di bawah sistem pers mereka, fungsi utama pers ialah melaporkan pemberitaan bercampur tugas mengangkat dan mendukung ideologi nasional serta tujuan-tujuan yang dikehendakinya. Media jadi pemapar prestasi pemerintahan komunis, dan meniadakan pelaporan yang memburukkan kekuasaan, berbagai sensor terhadap kerja jurnalisme menjadi bagian dari kehidupan di negara-negara komunis.
Di negara berkembang (developing nations) yang non komunis, pers menikmati derajat kebebasan yang beraneka ragam, dari yang bersifat mesti mau melakukan self-censorhip(menyensor sendiri) apa-apa yang sekira bakal dilarang pemerintah, sampai yang benar-benar di sensor langsung seperti di negara-negara komunis. Kebebasan pers benar-benar dinikmati benar untuk media yang hidup di negara-negara yang berbahasa laporan most english speaking dan negara-negara Eropa Barat. (Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontemporer, page 10-13, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2005).
Journalist First to Face-Pertemuan I
Reviewed by Presiden Kacho
on
12.01
Rating:
Tidak ada komentar: