APANAMUKA
Pada hari di suatu bulan dipengakhir tahun 2006, saat kaki malas beranjak udara di luar sejuk mengikat, ramai riuh sampai pelosok kampung, sesaat pesta telah dibuka di atas pusara karib kerabat dan handai taulan, ada yang berucap ini-lah hari dimana kita akan bertuah, inilah hari dimana kita memetik buah dari hasil jarah, jerih payah atawa ikhlas, ini lah hari marwah atawa sumpah sarapah semua seperti memerah pada bilah belati yang panas diterpa arang panas pande besi yang tak sempat berucap pada pemukul “bentuklah aku sesuka mu”. Ada kesempatan tanpa persiapan disinggahkan atawa beli berpuluh milyar rupiah tumpah pada banner, baliho, spanduk hingga kalender semua pada pilih-lah Aku. Kesempatan berlalu cepat, berkelibat seperti halilintar dikepala, untuk mu menang! angkatkan kepalaku pada kata menang milik sekelompok kenal tak dalam, akrab-pun jauh dari sapaan, tak ada tuntutan berlebihan, tanpa syarat panjang, tak ada jaminan bank, tak ada tandatangan kesetiaan. Aku tergoda pada sesuatu tak aku suka, lalu ingin ku berkuasa, aku terhela pada ranum buah di taman anggur milik puang di negeri tinggi cemara, sejuk hawa nya memaksa lupa pada gersang sawah di kampung petani, empuk kursi lupakan aku akan jarum- jarumnya yang tersembunyi dibalik empuk kapuknya, walah hai apanamuka semua itu sangat kusuka jadinya. Aku terpesona pada awan yang melayang-lambai di atas bukit cemara, gelapnya seperti temtram pada kepala dan daun liuk oleh angin bukit serumput padang yang mulai gersang ingin bersemai bersama perdu yang juga sisa kepunahan. Aku telah dibersemangatkan untuk bangkit mengadah pada lembah yang sungainya tak lagi alirkan air beratus bulan berlalu bau amis masih tercium atas sisa darah bencana kemanusian dari air yang tak mampu alirkannya ke muara. Akupun sudah tak lagi berbicara luka, bukan aku hendak menghindar, tetapi aroma baru kehidupan, janji kehebatan serta marwah ke-akuan kian sering diperdengarkan. Tidak ada ruang untuk ku mengelak, semua celah telah tertutup, akupun menerima untuk tinggal dalam rumah sulit cahaya, bersama lampu aku sering habiskan masa, bagiku siang-malam tidak berbeda. Hidup disini terkesan menyenangkan bak ceritera raja-raja dan istana, permaisuri dan taman hayati, ah betapa indahnya akan hayal itu, hingga aku sekarang di sini, di kursi ini.
Setelah bulan berbilang tahun, akupun mulai merasakan gatal mendera di bagian punggungku, kucoba periksa ke dokter karena takut akan bahaya tidak ada hasil berarti dan bukan masalah vatal, paling tidak demikian kesimpulan dokter yang memberiku pengobatan, masih menurut dokter tidak ada tanda bahwa pantatku telah diserang virus, namun gatal semata-mata disebabkan karena terlalu banyak duduk, sedikit bergerak, sehingga pembuluh darah di pantat membesar dan menyulitkan peredarannya ke wilayah lain sehingga menimbulkan efek gatal.
Aku baru sadar bahwa selama setahun terakhir masa kemenanganku, aku banyak menghabiskan waktu untuk bekerja di ruangan saja, jarang beranjang sana, baik antar sesama tetangga rumah, kecamatan, kabupaten, provinsi atawa keluar negeri sebagaimana trent yang sering dilakukan oleh pemenang-pemenang terdahulu. Bahkan aku sering melakukan pertemuan hanya di dalam ruangan kantor saja, umunya tamuku sering mendatangiku dari pada aku mendatangi mereka. Aku menerima segala laporan baik tertulis maupun lisan atawa via telepon di kantor saja tanpa harus keluar bercapai dikejar wartawan, apalagi harus menjawab pertanyaan yang aku sendiri tidak membuat kebijakannya dan lagi itu diluar disiplin ilmu yang aku amini, dan toh aku jadi pemenang juga bukan karena aku cukup bagus dalam reklame atawa besarnya baliho yang aku buat, tetapi lebih dari siapa yang menjamin aku telah menang, aku tidak perlu banyak buang tenaga dan pikiran pada budak belian rakyat jelata yang telah memilihku dengan rela atawa paksa, karena itu bukan tanggungjawabku yang harus kuperhatikan, hal itu telah menjadi kerjaan tim lain dan memang bertugas untuk itu. Tugasku calonkan diri dan raih kemenangannya, itu saja? Tidak juga belakangan nurani keilmuanku sedikit menggelitik kesadarannku, begini-begini aku ini kan seorang yang memiliki pendidikan tinggi, perlahan tapi pasti aku mulai terbebani dengan apa yang selama ini telah aku lakukan, apakah sudah memenuhi harapan masyarakat pemilihku dan rakyatku.
Aku bekerja dalam ruang bercahaya lampu, berpuluh lilin telah kuhabiskan guna membantu penglihatan, menulis banyak konsep untuk kuterapkan, membuat banyak runutan program yang harus aku jalankan, perlahan aku mulai sadar bahwa aku sedikit kekuatan untuk mengatur peran, membilah bidang, menetapkan aturan, dalih-dalih aku dapat menyelamatkan rakyatku dari malapetaka kemiskinan, menyelesaikan tagihan pemilihku ku saja yang hanya ribuan tak sanggup aku penuhi bagaimana ini. Aku berdiam sejenak, kok kalau aku ingat setelah setahun kepemilihan dan kemenanganku kok belum pernah berbuat sesuatu yang bermanfaat langsung kepada masyarakatku, aku asyik sibuk dengan urusan ciptakan project dan membagikan kepada setiap kolega yang telah mendongkrak kemenanganku dalam kontes pemilihan setahun lalu.
Bagaimana ini? sepertinya aku sudah mulai bosan hanya bekerja serta berkonsep ria di ruangan saja, aku sudah mulai tidak puas hanya dengan berwacana, berdiplomasi dalam jawaban, tetapi apanamuka, aku harus bagaimana? Aku tak punya kekuatan, aku tidak punya pasukan beladiri seperti Ninja di jepang yang terkenal setia pada tuannya itu, aku juga tak punya sepasukan tempur yang selalu patuh pada komandan dalam setiap misi penyerbuan, wah bagaimana ini. Apanamuka, aku tak punya kekuatan.
APANAMUKA
Reviewed by Presiden Kacho
on
01.29
Rating:
Tidak ada komentar: