Sebuah tulisan yang terbit di tahun 2003 di sebuah majalah mahasiswa Universitas Jember. Tema yang diangkat dalam tulisan ini adalah terkait dengan wacana post-kolonial, sebuah kajian yang awalnya berangkat perlawanan aliran sastra baru terhadap sastra mapan (kolonial). Kajian ini akhirnya digunakan untuk membentuk proses identifikasi baru, termasuk dalam membangun wacana ilmu sosial terhadap bangunan ilmu sosial dunia pertama (termasuk Amerika Serikat yang paling banyak memproduksinya), sehingga kajian ilmu-ilmu sosial yang berasal dari negara dunia ketiga ( Asia , Afrika, Amerika Latin), mendapat tempat yang sama tinggi.
Saat ini penting untuk melihat bagaimana Amerika Serikat mempengaruhi dunia melalui gaya politiknya, termasuk kehadiran Barrack Obama yang dianggap akan lebih tasamuh, toleran, dan emansipatif dengan dunia luar, khususnya kepada dunia Islam, yang kadung (terlanjur_admin) dianggap sebagai dunia teroris. (by Teuku Kemal Fasya).
Masih ingat pemberitaan tentang penyergapan Uday dan Qussay, dua anak Presiden Irak Saddam Hussein di Mosul, Irak? Operasi ini berlangsung dengan kekuatan maksimal dari pihak pasukan Amerika Serikat, sebagai bagian “pelenyapan” 55 orang yang paling dicari dari rejim Baath yang menolak setia terhadap negara adikuasa itu. Ada prahara yang tak perlu didramatisir dari tindakan amatiran pemburu negeri Paman Sam yang memborbardir tempat tinggal persembunyian Uday dan Qusay sehingga menewaskan seluruh penghuninya, termasuk seorang cucu Saddam berusia 13 tahun.
Inti yang ingin diungkapkan di sini bukan pada masalah kemanusiaan perang yang sekarang makin absurd untuk didengar. Permasalahannya terletak pada sikap Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Donald Rumsfeld, yang membolehkan media massa mempublikasikan foto para jenazah yang telah rusak itu, sebagai solusi terhadap rasa keingintahuan publik pada kebenaran berita tersebut. Kenyataan bahwa kondisi mayat yang telah rusak akibat berondongan senjata berat, dan bekas bedahan yang melintang di dada korban, sama sekali tak dihiraukan. Protes dari masyarakat duniapun muncul bergelombang sebab pemerintah A.S tak konsisten dan jujur dengan sikapnya yang lalu, yaitu saat mereka juga mengeritik media Al-Arabiyaa dan Al-Jazeera yang mempublikasikan gambar para pasukan sekutu yang tewas pada agresi lalu. Dahulu, pihak pemerintah Amerika mengecam gambar video yang direkam oleh tentara Vietcong pada saat perang Vietnam . Dalam visual yang dijadikan alat propaganda tentara komunis itu, mayat tentara Amerika diseret dengan mobil di tengah pasar dan dijadikan bahan tertawaan.
Memasuki milenium ketiga ini ada episteme baru yang dimunculkan sehingga bersinergis dalam relung-relung persetujuan logis kita. Episteme itu adalah terorisme. Sebagai sebuah wacana, terorisme bukanlah bahan baru, dan – perlahan-lahan melalui bahasa – digunakan sebagai alat propaganda menggantikan wacana komunisme, militerisme, dan HAM. Cuma ada pematangan strategis dari terorisme, yang tidak hanya dianggap sebagai sebuah konsep normatif tentang penyebaran rasa takut kepada masyarakat sipil dan dunia damai secara luas, tapi juga bahwa tindakan teror boleh dilawan dengan teror juga, bahkan lebih hebat lagi. Gagasan ini yang diproduksi Amerika bagi kepentingannya sendiri. Ada standar ganda yang difungsikan berbeda dalam melihat diri dan orang lain (the otherness)
Tentang masalah HAM pun demikian. HAM yang seolah menjadi konsep netral, sebenarnya juga alat yang digunakan untuk menekan sikap-sikap rejim despotik di luar Amerika (salah satu personifikasi untuk Barat), tapi pelan-pelan tidak dibunyikan lagi –meskipun kita tak menafikan bahwa konsep HAM memang bermanfaat untuk menghentikan tindakan kesewengan-wenangan penguasa. Tapi HAM di tangan pemerintah Amerika Serikat menjadi konsep yang tereduksi sedemikian rupa, plus standar gandanya.
Saat ini, Ada banyak logika yang telah tercuri sejalan dengan tercurinya bahasa dan teks. Kalau saja logika HAM dengan gumam yang sama kerasnya dipropagandakan seperti pada tahun-tahun 70-80-an terus saja berlaku, tentu tak ada pembenaran terhadap pilihan agresi Amerika kepada negara-negara berdaulat. Arogansi omnikriminal (kejahatan semesta) terhadap negara-bangsa seperti Afganistan dan Iraq telah membuat kondisi kultur dan struktur sosial kedua negara itu luluh lantak, hanya demi menangkap Osama bin Laden dan menggulingkan rejim Saddam.
Tapi apakah yang membuat Amerika tetap tak merasa berdosa melanjutkan tradisi polisionilnya ke seluruh daerah di dunia ini, seperti ancamannya terhadap lebih duapuluh negara sejak selesainya perang dunia kedua? Media massa ? Kita akui memang sebagai ornamen yang mempercantik motif-motif kognitif dan imajinasi, seindah kepahlawanan Ramboo dan James Bond melawan musuh-musuhnya. Tapi yang lebih penting lagi adalah peran narasi (di dalamnya termasuk bahasa dan wacana) yang terus-menerus diproduki untuk membuat batas utuh antara Amerika-Barat dan bukan non-Amerika-Barat. Itulah wacana dari tulisan-tulisan kolonial, yang sebenarnya bagian dari tradisi ekspansionistik Barat menjelajah dunia-dunia Asia , Afrika, Karibbia, dan Amerika (sebelum akhirnya ia menjadi predator kolonial yang sangat buas dan liar, menjajah tanah “tak bermilik” hunian suku Indian).
Kini post-colonial studies, secara lebih luas post-colonial discourse, telah diterima sebagai sebuah metodologi epistimologis memeriksa narasi-narasi yang dicurigai terpengaruh proses imperial dari momen kolonialime akhir-akhir ini. Pengertian ini sama sekali tak meragukan, karena, walaupun perang dunia ke dua telah usai, bahaya imperialisme masih berlangsung dan tidak terputus. Salah satu yang sangat jelas dirasakan adalah terbentuknya streotipe superioritas negara-negara penjajah vis a vis inferioritas negara-negara terjajah. Kajian post-colonial sendiri memiliki misi menembus sejarah lalu, menuju lahirnya sebuah tradisi (literal) yang multi-kultural. Berbicara tentang sejarah pre-okupasi berlanjut dari negara-negara Barat, harus ada kritisisme baru yang dijadikan jembatan pengikat di belantara lintasan literatur, karena gagasan-gagasan kolonial sangat mudah terinfeksi dari sana .
Homi K. Bhaba dalam sebuah artikel terkenalnya Signs taken for Wonders (1995, Bill Ashcroft, ed, 1995) membahasakan bagaimana kesantunan kolonialisme Inggris terhadap daerah jajahan seperti India sebenarnya memiliki maksud yang juga culas. Dengan berhasilnya budaya kapitalisme cetak menemukan momentum kejayaan, bangsa Inggris memanfaatkan hal tersebut untuk menyebarkan buku-buku berbahasa Inggris ke kalangan bangsa terjajah. Maksud utamanya bukan hanya menghilangkan keliaran dan “pemborosan kata-kata” yang dimiliki bangsa pribumi, tapi juga paradoks-paradoks yang tersangkut pada pengucapan dan juga logika berpikir.
Penemuan buku sebenarnya adalah momen originalitas dan otoritas yang digunakan oleh bangsa penjajah untuk melakukan pengulangan ide, pengaburan sekaligus penerjemahan makna, penyalahbacaan (misread), dan penyalahtempatan (displaced). Karena wewenang berada di tangan author, bangsa terjajah menerima seluruh saluran makna menurut kehendak yang telah direjimkan.
Keberagaman yang sebenarnya harus hadir dari proses enaksasi budaya tidak sepenuhnya terjadi. Bangsa terjajah secara luas hanya melakukan mimicry, peniruan, dengan proses dan sikap diri yang sebenarnya juga palsu. Peniruan hanya menjadi seolah-olah dan tidak bisa sepenuhnya. Terjajah adalah a subject of a difference that is almost the same, but not quite (Bhaba, 1994, h. 86). Sekuat tenaga pribumi mencoba menjadi ”putih”, tapi tetaplah yang tersisa adalah debu dan asap bagi mereka. Ironisme Raphl Singh mungkin cukup menjawab takdir the mimic men, yaitu sebagai “seorang pengembara yang memiliki ingatan yang telah terkorupsi begitu cepatnya ketika ia menatap dunia baru”.
Tradisi monokulturalisme ini secara hukum waktu akan melahirkan sebuah budaya pengetahuan kolonial, dimana indera pengungkapan “bangsa-bangsa yang patut dicerahkan” terpotong penuh. Dalam tulisan Gayatri C. Spivak diidentifikasi situasi tuna apresiasi ini dengan sebutan subaltern (Can Subaltern Speaks?, 1988). Subaltern adalah pangkat terendah yang dimiliki sebuah komunitas dimana ia “tak memiliki mulut untuk menyuarakan kepentingannya, dan tak ada telinga yang mau mendengarkan hasratnya.” Subaltern adalah kelas budaya yang diidentifikasi oleh Barat dengan sebutan “tak beradab, barbarian, gila, suka perempuan dan mabuk, maniak perang, dan berbagai sinonima yang menunjukkan “batas” – yang dahulu sering terserang jargon pencerahan dan rasionalitas.
Tapi dalam hubungan ini kita juga akan kesulitan menggeneralisasi apa itu yang dianggap batas (boundaries), kalau itu hanya didasarkan introdusi formal seperti Barat-Timur, Utara-Selatan (geografis), kulit putih-berwarna (ras), ataupun Inggris-non-Inggris (bahasa). Tangga yang paling baik untuk menilai adalah pada interaksi simbolis yang beroperasi, sehingga memungkinkan adanya format-koneksitas konstruksi kelas atas-bawah dan pusat-peripheri yang memunculkan split bagi minoritas dan kesewenangan bagi mayoritas dalam mengartikulasikan kehendak bersama.
Kita tak dapat menyatakan bahwa semua orang Eropa adalah brengsek, dan semua orang Asia adalah tertindas. Pengertian yang sifatnya simbolis tanpa interaksi adalah kesewenanganan pula. Hal yang sama dapat kita temukan dalam beberapa ideologi ultra-feminisme, yang ujung-ujungnya bukan lagi suara emansipatoris, tapi malah penindasan baru yang diproduksi untuk membuat klaim previlese buta bagi setiap kepentingan jenis kelamin perempuan. Asal melawan dominasi laki-laki adalah gerakan feminis, dan yang bertindak sebaliknya adalah gerakan anti-feminis.
Sikap seperti inilah yang sebenarnya berulangkali dibantah oleh Edward W. Said, akibat cercaan, apologi dan argumentasi yang menghina pikiran-pikirannya – yaitu sejak buku fenomenalnya, Orientalism (1978) muncul. Contoh, serangan yang dilakukan oleh Bernard Lewis dalam bukunya Islam and West (1988), sungguh sebuah tindakan yang cukup agitatif dan tak menyentuh inti yang dibicarakan. Lewis menyatakan bahwa Said adalah tipologi pemikir Arab yang punya style paranoid yang menggebu-gebu terhadap Barat dan kebudayaannya. Sikap Lewis dan para pemikir Arab yang kurang bersahabat dengan Islam, direspons dengan elegan oleh Said dalam sebuah karya yang sama sekali menjauhi statemen-stamen Arab dan Islam. Dalam Culture and Imperialism (1993) ia mengulas kembali secara panjang lebar peran novel-novel Inggris (dan Eropa secara umum) yang dianggap telah membangun citra negatif terhadap tanah jajahannya. Tak lupa Said juga menempatkan para penulis-penulis kolonial yang mengambarkan ironisme para tuan tanah di tanah jajahan – walaupun sayangnya, pada akhirnya affirmasi obor penerang adalah Barat Atlantik tetap saja dinyata-nyatakan dalam karya mereka. Karya-karya monumental seperti Dickens (Great Expectations), Joseph Conrad (Nostromo dan The Heart of Darkness,) dan risalah-risalah Melville diulas dengan analisa tekstual dan analisa wacana yang tajam. Buku Said ini sendiri termasuk sebagai karya kritik sastra Eropa akhir abad 18 hingga awal 20 terbaik dan terlengkap yang pernah ada.
Pemaparan karya sastra dengan sangat luas oleh Said memberikan kesimpulan bahwa sikap penentangan terhadap keinginan Barat adalah sebuah tindakan jahat terus saja lestari hingga di abad modern ini. Pengetahuan yang ditopang dengan kekuasaan sebenarnya hanya memberikan ruang serba sedikit bagi argumentasi yang jujur. Selebihnya adalah ilusi tentang kebajikan dan keluhuran, serta retorika yang tak mendasar sama sekali. Kolonialisme, seberapapun kuatnya nilai kesantunan yang teremban, tetap saja merupakan kelicikan yang tak dapat ditutup-tutupi.
Said memang bukan hanya seorang penulis musik dan sastra yang baik. Sikapnya yang akademis, sastrawi, sekaligus politis seperti dalam bukunya Orientalism dan Culture and Imperialism adalah sebuah pilihan yang bijak bagi para cendekiawan non-Barat, untuk tetap bisa reserve ketika konstruksi pengetahuan yang diabsorsi dari Barat. Bagi Said gagasan post-colonial adalah kesempatan baik bagi cendekiawan Timur untuk mendasarkan seluruh landasan ontologis dan epistimologis pengetahuan yang selama ini telah membuat perbedaan antara the Orient (timur) dan the Occident (barat) makin berjarak, makin kehilangan urgensitasnya.
Karenanya, seluruh aspek penelisikan harus melibatkan para pemroduksi tulisan, apakah itu penyair, novelis, filsuf, pengamat politik dan ekonomi, atau pengamat administratif sebagai tertuduh sebelum terbukti kemudian tidak menjadikan aras pikirannya sebagai retorika penjajahan. Hal ini tentu akan menjadikan langkah elaborasi terhadap berbagai landasan teori, epik, deskripsi sosial, dan strategi politik memiliki hubungan yang simetris kembali, apakah itu dilakukan oleh orang Timur maupun Barat. Seorang penulis, yang walaupun secara asal-usul adalah Timur, jika ia memiliki tanggapan yang membenarkan agresi Amerika atau zionisme Israel adalah seorang pemikir pro-kolonial.
Akhirnya kita dapat dengan mudah mengidentifikasi peran-peran intelektual ke depan, apakah benar-benar mengemban misi penyelamatan kemanusiaan (dalam arti akhirnya seluruh manusia harus hidup dalam kompleksitas masalah dan menghargai beragam identitas yang tumbuh di dalamnya), ataukah hanya menjadi agen-agen propaganda dengan beragam cukong imperialisnya.
Dalam sebuah perdebatan di mingguan al-Ahraam, bulan Mei 1999, Said membantah tuduhan Milton Viorst, seorang penulis orientalisme dan Arab, bahwa dirinya mempropagandakan rasisme baru terhadap Barat, yang menyerang para penulis Barat sebagai kelompok manusia yang terlalu melebih-lebihkan sekaligus meremeh-temehkan fakta dari sejarah Islam. Dengan jelas Said menyatakan bahwa permasalahannya adalah bukan lagi tentang masalah kejahatan dan kebaikan yang menghinggapi Timur atau Barat secara mutlak. Dengan geram Said mengatakan bahwa dalam keduanya unsur keburukan juga dapat tumbuh subur.
Tapi, ia tak dapat menolelir kesempitan bacaan Viorst tentang sejarah Islam, dan kemiskinan informasi antropologis yang dijadikannya bahan rujukan dunia Arab dan kultur Timur-Tengah. Sikap Viorst yang memuji-muji Raja Hussein karena mendapat kesempatan berwawancara dengan raja Yordania itu juga sebuah kelemahan subjektif tersendiri – raja yang membiarkan ribuan pengungsi Palestina berduyun-duyun lari dalam keadaan takut dan kemiskinan memohon suaka pasca pembantaian Sabra dan Shatilla yang dilakukan Kepala Intelejen Zionis Israel saat itu, Ariel Sharon. Apa nyana, sikap Hussein yang menganggap remeh orang-orang Palestina, tetap saja membutakan mata Viorst hingga menggelari raja otoriter itu sebagai tokoh Arab yang memiliki prestasi besar bagi perdamaian Timur-tengah.
“Aku tak pernah mengklaim bahwa penulis Barat tidak dapat bersikap jujur dengan budaya Arab”, aku Said. “Kejujuran bukanlah masalah apakah Anda adalah Arab atau bukan. Itu sepenuhnya tergantung pada pengetahuan yang riil, kemampuan membaca sebuah bahasa, informasi yang nyata, dan wawasan yang benar. “Bukan sama sekali, bahkan karena Viorst kebetulan penulis Barat, yang kemudian menjadikannya sedemikian kesurupan ketika berbicara tentang Arab”
Dalam tulisan yang bernyala-nyala itu Said menutup di frasa terakhirnya dengan keterangan bahwa Barat memang telah melakukan analisa kritis yang baik tentang Arab, sesering mereka melakukan analisa yang menyakitkan hati. Sangat mustahil kemudian membuktikan mana Barat yang jujur atau tidak dengan mengambil kesimpulan umum, tanpa didukung data yang konkret. Tapi bagi Said, Viorst termasuk penulis yang tidak berada dalam posisi yang bisa membuktikan itu.
Hingga sejauh ini, dapatkah kita dengan tenang hati menilai kejahatan yang dilakukan oleh Amerika terhadap hancurnya peradaban Afganistan (yang menghubungkan hampir seluruh sub-kultur Asia tengah hingga ke Siberia), dan rusaknya catatan historis tertua Assyiria, Sumeria, Babilonia, dan Islam akibat agresi dan pecurian besar-besaran artefak asli di Irak dibiarkan? Dengan cepat saya katakan tidak – tentu setelah membuat pengecualian bagi Dixie Chicks, Susan Sarandon, Dustin Hoffman, Sean Penn dan sederet tokoh Amerika lainnya yang sejak semula tak menghendaki perang itu dan melawan kebijkaan George W Bush, sebagai presiden tolol yang pernah mereka miliki.
Teuku Kemal Fasya, Penulis beragam tema. Terutama Aceh, demokrasi, kajian budaya, dan antropologi.
Saat ini penting untuk melihat bagaimana Amerika Serikat mempengaruhi dunia melalui gaya politiknya, termasuk kehadiran Barrack Obama yang dianggap akan lebih tasamuh, toleran, dan emansipatif dengan dunia luar, khususnya kepada dunia Islam, yang kadung (terlanjur_admin) dianggap sebagai dunia teroris. (by Teuku Kemal Fasya).
Masih ingat pemberitaan tentang penyergapan Uday dan Qussay, dua anak Presiden Irak Saddam Hussein di Mosul, Irak? Operasi ini berlangsung dengan kekuatan maksimal dari pihak pasukan Amerika Serikat, sebagai bagian “pelenyapan” 55 orang yang paling dicari dari rejim Baath yang menolak setia terhadap negara adikuasa itu. Ada prahara yang tak perlu didramatisir dari tindakan amatiran pemburu negeri Paman Sam yang memborbardir tempat tinggal persembunyian Uday dan Qusay sehingga menewaskan seluruh penghuninya, termasuk seorang cucu Saddam berusia 13 tahun.
Inti yang ingin diungkapkan di sini bukan pada masalah kemanusiaan perang yang sekarang makin absurd untuk didengar. Permasalahannya terletak pada sikap Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Donald Rumsfeld, yang membolehkan media massa mempublikasikan foto para jenazah yang telah rusak itu, sebagai solusi terhadap rasa keingintahuan publik pada kebenaran berita tersebut. Kenyataan bahwa kondisi mayat yang telah rusak akibat berondongan senjata berat, dan bekas bedahan yang melintang di dada korban, sama sekali tak dihiraukan. Protes dari masyarakat duniapun muncul bergelombang sebab pemerintah A.S tak konsisten dan jujur dengan sikapnya yang lalu, yaitu saat mereka juga mengeritik media Al-Arabiyaa dan Al-Jazeera yang mempublikasikan gambar para pasukan sekutu yang tewas pada agresi lalu. Dahulu, pihak pemerintah Amerika mengecam gambar video yang direkam oleh tentara Vietcong pada saat perang Vietnam . Dalam visual yang dijadikan alat propaganda tentara komunis itu, mayat tentara Amerika diseret dengan mobil di tengah pasar dan dijadikan bahan tertawaan.
Memasuki milenium ketiga ini ada episteme baru yang dimunculkan sehingga bersinergis dalam relung-relung persetujuan logis kita. Episteme itu adalah terorisme. Sebagai sebuah wacana, terorisme bukanlah bahan baru, dan – perlahan-lahan melalui bahasa – digunakan sebagai alat propaganda menggantikan wacana komunisme, militerisme, dan HAM. Cuma ada pematangan strategis dari terorisme, yang tidak hanya dianggap sebagai sebuah konsep normatif tentang penyebaran rasa takut kepada masyarakat sipil dan dunia damai secara luas, tapi juga bahwa tindakan teror boleh dilawan dengan teror juga, bahkan lebih hebat lagi. Gagasan ini yang diproduksi Amerika bagi kepentingannya sendiri. Ada standar ganda yang difungsikan berbeda dalam melihat diri dan orang lain (the otherness)
Tentang masalah HAM pun demikian. HAM yang seolah menjadi konsep netral, sebenarnya juga alat yang digunakan untuk menekan sikap-sikap rejim despotik di luar Amerika (salah satu personifikasi untuk Barat), tapi pelan-pelan tidak dibunyikan lagi –meskipun kita tak menafikan bahwa konsep HAM memang bermanfaat untuk menghentikan tindakan kesewengan-wenangan penguasa. Tapi HAM di tangan pemerintah Amerika Serikat menjadi konsep yang tereduksi sedemikian rupa, plus standar gandanya.
Saat ini, Ada banyak logika yang telah tercuri sejalan dengan tercurinya bahasa dan teks. Kalau saja logika HAM dengan gumam yang sama kerasnya dipropagandakan seperti pada tahun-tahun 70-80-an terus saja berlaku, tentu tak ada pembenaran terhadap pilihan agresi Amerika kepada negara-negara berdaulat. Arogansi omnikriminal (kejahatan semesta) terhadap negara-bangsa seperti Afganistan dan Iraq telah membuat kondisi kultur dan struktur sosial kedua negara itu luluh lantak, hanya demi menangkap Osama bin Laden dan menggulingkan rejim Saddam.
Tapi apakah yang membuat Amerika tetap tak merasa berdosa melanjutkan tradisi polisionilnya ke seluruh daerah di dunia ini, seperti ancamannya terhadap lebih duapuluh negara sejak selesainya perang dunia kedua? Media massa ? Kita akui memang sebagai ornamen yang mempercantik motif-motif kognitif dan imajinasi, seindah kepahlawanan Ramboo dan James Bond melawan musuh-musuhnya. Tapi yang lebih penting lagi adalah peran narasi (di dalamnya termasuk bahasa dan wacana) yang terus-menerus diproduki untuk membuat batas utuh antara Amerika-Barat dan bukan non-Amerika-Barat. Itulah wacana dari tulisan-tulisan kolonial, yang sebenarnya bagian dari tradisi ekspansionistik Barat menjelajah dunia-dunia Asia , Afrika, Karibbia, dan Amerika (sebelum akhirnya ia menjadi predator kolonial yang sangat buas dan liar, menjajah tanah “tak bermilik” hunian suku Indian).
Kini post-colonial studies, secara lebih luas post-colonial discourse, telah diterima sebagai sebuah metodologi epistimologis memeriksa narasi-narasi yang dicurigai terpengaruh proses imperial dari momen kolonialime akhir-akhir ini. Pengertian ini sama sekali tak meragukan, karena, walaupun perang dunia ke dua telah usai, bahaya imperialisme masih berlangsung dan tidak terputus. Salah satu yang sangat jelas dirasakan adalah terbentuknya streotipe superioritas negara-negara penjajah vis a vis inferioritas negara-negara terjajah. Kajian post-colonial sendiri memiliki misi menembus sejarah lalu, menuju lahirnya sebuah tradisi (literal) yang multi-kultural. Berbicara tentang sejarah pre-okupasi berlanjut dari negara-negara Barat, harus ada kritisisme baru yang dijadikan jembatan pengikat di belantara lintasan literatur, karena gagasan-gagasan kolonial sangat mudah terinfeksi dari sana .
Homi K. Bhaba dalam sebuah artikel terkenalnya Signs taken for Wonders (1995, Bill Ashcroft, ed, 1995) membahasakan bagaimana kesantunan kolonialisme Inggris terhadap daerah jajahan seperti India sebenarnya memiliki maksud yang juga culas. Dengan berhasilnya budaya kapitalisme cetak menemukan momentum kejayaan, bangsa Inggris memanfaatkan hal tersebut untuk menyebarkan buku-buku berbahasa Inggris ke kalangan bangsa terjajah. Maksud utamanya bukan hanya menghilangkan keliaran dan “pemborosan kata-kata” yang dimiliki bangsa pribumi, tapi juga paradoks-paradoks yang tersangkut pada pengucapan dan juga logika berpikir.
Penemuan buku sebenarnya adalah momen originalitas dan otoritas yang digunakan oleh bangsa penjajah untuk melakukan pengulangan ide, pengaburan sekaligus penerjemahan makna, penyalahbacaan (misread), dan penyalahtempatan (displaced). Karena wewenang berada di tangan author, bangsa terjajah menerima seluruh saluran makna menurut kehendak yang telah direjimkan.
Keberagaman yang sebenarnya harus hadir dari proses enaksasi budaya tidak sepenuhnya terjadi. Bangsa terjajah secara luas hanya melakukan mimicry, peniruan, dengan proses dan sikap diri yang sebenarnya juga palsu. Peniruan hanya menjadi seolah-olah dan tidak bisa sepenuhnya. Terjajah adalah a subject of a difference that is almost the same, but not quite (Bhaba, 1994, h. 86). Sekuat tenaga pribumi mencoba menjadi ”putih”, tapi tetaplah yang tersisa adalah debu dan asap bagi mereka. Ironisme Raphl Singh mungkin cukup menjawab takdir the mimic men, yaitu sebagai “seorang pengembara yang memiliki ingatan yang telah terkorupsi begitu cepatnya ketika ia menatap dunia baru”.
Tradisi monokulturalisme ini secara hukum waktu akan melahirkan sebuah budaya pengetahuan kolonial, dimana indera pengungkapan “bangsa-bangsa yang patut dicerahkan” terpotong penuh. Dalam tulisan Gayatri C. Spivak diidentifikasi situasi tuna apresiasi ini dengan sebutan subaltern (Can Subaltern Speaks?, 1988). Subaltern adalah pangkat terendah yang dimiliki sebuah komunitas dimana ia “tak memiliki mulut untuk menyuarakan kepentingannya, dan tak ada telinga yang mau mendengarkan hasratnya.” Subaltern adalah kelas budaya yang diidentifikasi oleh Barat dengan sebutan “tak beradab, barbarian, gila, suka perempuan dan mabuk, maniak perang, dan berbagai sinonima yang menunjukkan “batas” – yang dahulu sering terserang jargon pencerahan dan rasionalitas.
Tapi dalam hubungan ini kita juga akan kesulitan menggeneralisasi apa itu yang dianggap batas (boundaries), kalau itu hanya didasarkan introdusi formal seperti Barat-Timur, Utara-Selatan (geografis), kulit putih-berwarna (ras), ataupun Inggris-non-Inggris (bahasa). Tangga yang paling baik untuk menilai adalah pada interaksi simbolis yang beroperasi, sehingga memungkinkan adanya format-koneksitas konstruksi kelas atas-bawah dan pusat-peripheri yang memunculkan split bagi minoritas dan kesewenangan bagi mayoritas dalam mengartikulasikan kehendak bersama.
Kita tak dapat menyatakan bahwa semua orang Eropa adalah brengsek, dan semua orang Asia adalah tertindas. Pengertian yang sifatnya simbolis tanpa interaksi adalah kesewenanganan pula. Hal yang sama dapat kita temukan dalam beberapa ideologi ultra-feminisme, yang ujung-ujungnya bukan lagi suara emansipatoris, tapi malah penindasan baru yang diproduksi untuk membuat klaim previlese buta bagi setiap kepentingan jenis kelamin perempuan. Asal melawan dominasi laki-laki adalah gerakan feminis, dan yang bertindak sebaliknya adalah gerakan anti-feminis.
Sikap seperti inilah yang sebenarnya berulangkali dibantah oleh Edward W. Said, akibat cercaan, apologi dan argumentasi yang menghina pikiran-pikirannya – yaitu sejak buku fenomenalnya, Orientalism (1978) muncul. Contoh, serangan yang dilakukan oleh Bernard Lewis dalam bukunya Islam and West (1988), sungguh sebuah tindakan yang cukup agitatif dan tak menyentuh inti yang dibicarakan. Lewis menyatakan bahwa Said adalah tipologi pemikir Arab yang punya style paranoid yang menggebu-gebu terhadap Barat dan kebudayaannya. Sikap Lewis dan para pemikir Arab yang kurang bersahabat dengan Islam, direspons dengan elegan oleh Said dalam sebuah karya yang sama sekali menjauhi statemen-stamen Arab dan Islam. Dalam Culture and Imperialism (1993) ia mengulas kembali secara panjang lebar peran novel-novel Inggris (dan Eropa secara umum) yang dianggap telah membangun citra negatif terhadap tanah jajahannya. Tak lupa Said juga menempatkan para penulis-penulis kolonial yang mengambarkan ironisme para tuan tanah di tanah jajahan – walaupun sayangnya, pada akhirnya affirmasi obor penerang adalah Barat Atlantik tetap saja dinyata-nyatakan dalam karya mereka. Karya-karya monumental seperti Dickens (Great Expectations), Joseph Conrad (Nostromo dan The Heart of Darkness,) dan risalah-risalah Melville diulas dengan analisa tekstual dan analisa wacana yang tajam. Buku Said ini sendiri termasuk sebagai karya kritik sastra Eropa akhir abad 18 hingga awal 20 terbaik dan terlengkap yang pernah ada.
Pemaparan karya sastra dengan sangat luas oleh Said memberikan kesimpulan bahwa sikap penentangan terhadap keinginan Barat adalah sebuah tindakan jahat terus saja lestari hingga di abad modern ini. Pengetahuan yang ditopang dengan kekuasaan sebenarnya hanya memberikan ruang serba sedikit bagi argumentasi yang jujur. Selebihnya adalah ilusi tentang kebajikan dan keluhuran, serta retorika yang tak mendasar sama sekali. Kolonialisme, seberapapun kuatnya nilai kesantunan yang teremban, tetap saja merupakan kelicikan yang tak dapat ditutup-tutupi.
Said memang bukan hanya seorang penulis musik dan sastra yang baik. Sikapnya yang akademis, sastrawi, sekaligus politis seperti dalam bukunya Orientalism dan Culture and Imperialism adalah sebuah pilihan yang bijak bagi para cendekiawan non-Barat, untuk tetap bisa reserve ketika konstruksi pengetahuan yang diabsorsi dari Barat. Bagi Said gagasan post-colonial adalah kesempatan baik bagi cendekiawan Timur untuk mendasarkan seluruh landasan ontologis dan epistimologis pengetahuan yang selama ini telah membuat perbedaan antara the Orient (timur) dan the Occident (barat) makin berjarak, makin kehilangan urgensitasnya.
Karenanya, seluruh aspek penelisikan harus melibatkan para pemroduksi tulisan, apakah itu penyair, novelis, filsuf, pengamat politik dan ekonomi, atau pengamat administratif sebagai tertuduh sebelum terbukti kemudian tidak menjadikan aras pikirannya sebagai retorika penjajahan. Hal ini tentu akan menjadikan langkah elaborasi terhadap berbagai landasan teori, epik, deskripsi sosial, dan strategi politik memiliki hubungan yang simetris kembali, apakah itu dilakukan oleh orang Timur maupun Barat. Seorang penulis, yang walaupun secara asal-usul adalah Timur, jika ia memiliki tanggapan yang membenarkan agresi Amerika atau zionisme Israel adalah seorang pemikir pro-kolonial.
Akhirnya kita dapat dengan mudah mengidentifikasi peran-peran intelektual ke depan, apakah benar-benar mengemban misi penyelamatan kemanusiaan (dalam arti akhirnya seluruh manusia harus hidup dalam kompleksitas masalah dan menghargai beragam identitas yang tumbuh di dalamnya), ataukah hanya menjadi agen-agen propaganda dengan beragam cukong imperialisnya.
Dalam sebuah perdebatan di mingguan al-Ahraam, bulan Mei 1999, Said membantah tuduhan Milton Viorst, seorang penulis orientalisme dan Arab, bahwa dirinya mempropagandakan rasisme baru terhadap Barat, yang menyerang para penulis Barat sebagai kelompok manusia yang terlalu melebih-lebihkan sekaligus meremeh-temehkan fakta dari sejarah Islam. Dengan jelas Said menyatakan bahwa permasalahannya adalah bukan lagi tentang masalah kejahatan dan kebaikan yang menghinggapi Timur atau Barat secara mutlak. Dengan geram Said mengatakan bahwa dalam keduanya unsur keburukan juga dapat tumbuh subur.
Tapi, ia tak dapat menolelir kesempitan bacaan Viorst tentang sejarah Islam, dan kemiskinan informasi antropologis yang dijadikannya bahan rujukan dunia Arab dan kultur Timur-Tengah. Sikap Viorst yang memuji-muji Raja Hussein karena mendapat kesempatan berwawancara dengan raja Yordania itu juga sebuah kelemahan subjektif tersendiri – raja yang membiarkan ribuan pengungsi Palestina berduyun-duyun lari dalam keadaan takut dan kemiskinan memohon suaka pasca pembantaian Sabra dan Shatilla yang dilakukan Kepala Intelejen Zionis Israel saat itu, Ariel Sharon. Apa nyana, sikap Hussein yang menganggap remeh orang-orang Palestina, tetap saja membutakan mata Viorst hingga menggelari raja otoriter itu sebagai tokoh Arab yang memiliki prestasi besar bagi perdamaian Timur-tengah.
“Aku tak pernah mengklaim bahwa penulis Barat tidak dapat bersikap jujur dengan budaya Arab”, aku Said. “Kejujuran bukanlah masalah apakah Anda adalah Arab atau bukan. Itu sepenuhnya tergantung pada pengetahuan yang riil, kemampuan membaca sebuah bahasa, informasi yang nyata, dan wawasan yang benar. “Bukan sama sekali, bahkan karena Viorst kebetulan penulis Barat, yang kemudian menjadikannya sedemikian kesurupan ketika berbicara tentang Arab”
Dalam tulisan yang bernyala-nyala itu Said menutup di frasa terakhirnya dengan keterangan bahwa Barat memang telah melakukan analisa kritis yang baik tentang Arab, sesering mereka melakukan analisa yang menyakitkan hati. Sangat mustahil kemudian membuktikan mana Barat yang jujur atau tidak dengan mengambil kesimpulan umum, tanpa didukung data yang konkret. Tapi bagi Said, Viorst termasuk penulis yang tidak berada dalam posisi yang bisa membuktikan itu.
Hingga sejauh ini, dapatkah kita dengan tenang hati menilai kejahatan yang dilakukan oleh Amerika terhadap hancurnya peradaban Afganistan (yang menghubungkan hampir seluruh sub-kultur Asia tengah hingga ke Siberia), dan rusaknya catatan historis tertua Assyiria, Sumeria, Babilonia, dan Islam akibat agresi dan pecurian besar-besaran artefak asli di Irak dibiarkan? Dengan cepat saya katakan tidak – tentu setelah membuat pengecualian bagi Dixie Chicks, Susan Sarandon, Dustin Hoffman, Sean Penn dan sederet tokoh Amerika lainnya yang sejak semula tak menghendaki perang itu dan melawan kebijkaan George W Bush, sebagai presiden tolol yang pernah mereka miliki.
Teuku Kemal Fasya, Penulis beragam tema. Terutama Aceh, demokrasi, kajian budaya, dan antropologi.
Mempermasalahkan Barat (dan Amerika Lagi)
Reviewed by Presiden Kacho
on
01.29
Rating:
Tidak ada komentar: