Tampo Bin Tambo, Sebuah Novel yang belum selesai

Sebuah Novel Real Story Aneuk Muda Gampong Kecamatan Nisam (jino Banda Baro)Menebas Belantara Gemerlap metropolitan dengan segala Pernak Pernik kehidupan yang ada di dalam nya,...

BAGIAN PERTAMA...
BAGIAN PERTAMA
Aku Tampo Bin Tambo seorang pemuda kampung lahir di pedalaman Aceh Utara, Nisam. Sekarang menjadi kecamatan Banda Baro. Sewaktu aku kecil bersama kawan sepermainan memanggilku Botak, Aku tak tahu pasti kenapa nama itu menjadi panggilan mereka hanya satu yang kutahu bahwa ibu ku memang sering mencukur rambut ku plotos, katanya sih bagus untuk kulit kepalaku yang sering ditumbuhi penyakit bisul kecil dalam bahasa Aceh kami panggil raphuk. Aku tumbuh seperti anak kampong pada umumnya, selepas sekolah bermain bersama kerbau atau sapi yang jadi gembalaan kami, saat musim panen selesai kami membuat layang-layang dan memainkan di sawah yang baru panen atau bermain dengan jerami lalu membuatnya jadi rumah-rumahan dengan rangka ranting pohon dari semak belukar. Kadang juga sering membantu mengolah sawah dan juga menjaga padi ketika berbuah dari serbuan hama burung pipit, semua kami lakukan dengan rasa senang dan gembira.
Waktu beranjak usia SMP beberapa permainan yang sering kami mainkan di masa SD seperti Guli, main Kelereng, Gaseng, Gatok, Galah, main pet-pet (petak umpet) dan beberapa permainan tradisional lainnya harus aku minimalkan bahkan aku tinggalkan sama sekali hal ini juga karena faktor usia dan juga karena mulai banyak PR dari sekolah yang harus aku kerjakan. Kadang aku mengerjakannya sambil menjaga padi dari hama burung pipit di sawah. Saat itu sekolah di kampong ku hanya setingkat SD saja, siapa yang melanjutkan SMP harus pergi ke Krueng Geukueh dengan jarak tempuh 8 kilometer setiap harinya pulang pergi menjadi 16 kilometer, bagi ku itu bukan rintangan karena aku suka sekolah dan menjadi pandai itu merupakan cita-citaku, saat itu di kampong ku terhitung hanya ada dua anak yang melanjutkan ke SMP, kemudian di tahun kedua seorang di antara kami berhenti dengan alasan aku tidak tahu penyebabnya, aku beruntung karena keluargaku satu-satunya keluarga yang bersekolah hingga SLTA dan diantara semua saudara aku paling beruntung karena bisa sekolah sampai sarjana.
Menurut ibu ku ketika abang pertamaku Syammaun tamat SD, nenek ku ayah dari ibu melarang niat bapak untuk melanjutkan sekolah lanjutan bagi abang ku kata nenek kepada ibu “untuk apa kau melanjutkan sekolah si Maun, sudah banyak orang pintar di luar sana, mau menjadi apa nantinya, dari tukang sapu hingga presiden sudah ada orangnya” ibu ku tidak membantah pemikiran nenek, tetapi tetap pada kesepakatan dengan bapak bahwa saat musim sekolah datang ibu membawa abang pertamaku bersekolah di Krueng Geukueh selaku kota kecamatan waktu itu dengan berjalan kaki sekitar 8 kilimeter. Saat nenek tahu abang pertamaku melanjutkan sekolah beliau marah besar, sejak saat itu hubungan nenek dengan bapak menjadi renggang sampai tak terbatas.

Setelah aku menamatkan SMP 1991 di Krueng Geukueh lalu aku melanjutkan sekolah di SMA Mantang Geulumpang Dua, waktu itu aku sudah sering mendengar cerita tentang ada GPK (Gerobolan Pengacau Keamanan) yang tertembak atau terbunuh di temukan di pinggir jalan A atau B atau C, saat itu aku baru tahu bahwa Aceh sedang ada operasi militer menumpas GPK, di mana ketika usia SMP hal tersebut tidak menjadi desas desus dan pembicaraan di ruang kelas saat-saat guru belum masuk ruangan. Tetapi namanya usia remaja tetap saja kami mendengar berita itu sambil lalu saja masuk kuping kiri keluar kuping kanan bagi ku pribadi adalah belajar, bermain dan bekerja paruh waktu bila ada kesempatan termasuk bekerja di doorsmer sekalipun kalau itu bisa nambah uang saku dari sekedar berharap iuran bulanan orang tua di kampong yang memang tidak mencukupi, mau minta nambah pun mau dapat dari mana toh orang tua hanya bekerja sebagai petani padi saja dari tahun ke tahun tidak tentu hasil panennya, ya kalau lagi nasib baik bisa dapat hasil bagus bila lagi kemarau atau kena hama wereng atau hama tikus petani bisa gigit jari. Bapak dan ibu bukan tidak menyadari hal tersebut, jadi mereka menyiasati dengan juga bertani kacang tanah atawa jagung atawa kedelai di kebun nenek atau dikebun sendiri dipekarangan rumah. Menurut bapak ketika abang pertamaku masih kecil hasil panen padi setiap tahun selalu melimpah, jarang ada penyakit dan kekurangan air walau setahun hanya bisa tanam dua kali saja, namun hasilnya selalu bisa makan cukup, sudah termasuk bayar zakat dan juga menabung dan menjualnya sebagian untuk keperluan lauk pauk dan anak-anaknya sekolah.
Selain bertanam palawija disaat menunggu panen padi bapak berubah profesi menjadi mugee eungkot (penjual ikan atawa bakul ikan) di pasar Krueng Geukueh, dengan berdayung sepeda bapak biasa menempuh perjalan hampir 30 kilometer setiap harinya, bersepeda di subuh hari dari rumah panggung kami menuju simpang pulo rungkom (sekarang simpang KKA) lalu mendayung lagi sepeda hingga sampai desa bungkah di sebelah barat simpang KKA untuk memporoleh ikan segar kemudian di jualnya lagi di pasar Krueng Geukueh, bahkan malah kadang bapak membawa pulang ikan ke pasar yang ada di kampong lalu di jual di lapak yang ada di sana. Ketika aku baru saja mengenyam semester kedua di SMA aku harus kehilangan beliau di usianya 68 tahun. Sejak saat itu maka keluarga merelakan beberapa petak tanah sesuai dengan pesan almarhum untuk keperluan ku menamatkan SMA. Sejak saat itu aku hanya memiliki ibu, aku pernah mendengar dari orang kampong menceritakan perjuangan orang tuaku dan menjadi sosok contoh bagi semangat yang pernah di ceritakan dalam khutbah mesjid sebagai teladan seorang kampong yang gigih berjuang untuk menyokolahkan anak-anaknya walau saat itu sekolah adalah tabu dan biaya begitu sulit bagi kami, namun semangat ibu dan bapak telah menjadikan almarhum di ingat dan di hormati sebagai orang tua yang hanya menamatkan Sekolah Rakyat (SR) juga bisa tulis baca tulisan jawo namun bisa menyokolahkan semua anaknya, semasa hidupnya almarhum karena kemahiran bapak membaca tulisan arab jawo sering di undang untuk menjadi pembaca hikayat-hikayat berbahasa jawo (arab gundul) di beberapa kampong tetangga.
Di antara anggota keluarga aku mungkin anak satu-satunya dengan masa kanak-kanak yang jauh dari beliau, karena sejak aku sekolah SD aku harus ikut sekolah di desa pedalaman bernama Balee Gajah (sekarang masuk wilayah kecamatan Nisam Antara, kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten Bener Meriah) karena aku harus ikut kakak ku mengajar di sana.
Setahun aku bersekolah di SD inpres Balee Gajah, lalu di tahun ke dua aku pindah ke SD di kampong dan di tahun ke tiga aku ikut lagi abang ke dua di kota Langsa, lalu di kelas empat aku pindah lagi ke SD kampong hingga selesai di tahun 1987. Tahun dimana pabrik raksasa ke empat di bangun di Aceh Utara, setelah PT. Aron, ASEAN dan PT. PIM. Bagi masa kecil ku kehadiran pabrik tersebut tidak membawa perubahan luar biasa selain jalan kampong yang dulu kecil menjadi besar dan beraspal sehingga tidak perlu lagi berbecek ria seperti sewaktu aku SD, sepatu harus di jingjing atau malah cuma kaki ayam alias tak bersandal atawa tak bersepatu karena sayang sepatu kena lumpur di jalan juga mending beli kebutuhan lainnya yang lebih penting, aku ingat waktu aku kelas empat SD celana ku telah robek di bagian pantat dan setiap aku ke sekolah aku harus menutupnya dengan tas buku karena malu di lihat teman, ibu mengakalinya dengan membawa ke tukang jahit satu-satunya di kampong kami Dabaidah namanya untuk menambal bagian yang robek karena di tambal dengan kain bekas dan warna merahnya yang kontras sehingga sepintas seperti kacamata nempel di pantat, hal ini berlangsung hingga panen padi tiba untuk bisa membeli yang baru. Saat panen tiba aku diberi sejumlah uang oleh ibu, saat itu aku sudah berani bepergian ke keude Krueng Gukueh sendirian, aku senang sekali dapat memperoleh celana merah baru sebagai seragam SD saat itu, tak lama kemudian aku lulus ujian dan naik ke kelas lima hingga lulus aku dinyatakan sebagai murid dengan nilai tertinggi kedua di SD Ulee Nyeue yang lulus tahun 1987.
Aku mengambil ijazah paling awal dari teman sekelas lainnya, karena aku akan melanjutkan sekolah di tempat abang ku yang bertugas sebagai tentara dengan pangkat Prada di kota Langsa, abangku tidak bisa tinggal lama di kampong karena izin dari komandannya hanya dua hari saja, besok pagi setelah sarapan di hari minggu tahun 1987dengan di tunggui mamak di pinggir jalan kampong kami menumpang mobil Pick up Toyota HIACHE yang hanya lewat seminggu sekali khusus hari minggu saja, ini berkenaan dengan hari pekan di keude Krueng Geukueh, Dewantara Aceh Utara. Setiba di simpang Pulo Rungkom jalan Nasional Banda Aceh-Medan kami ganti tumpangan mini Bus ke Terminal Kota Lhokseumawe, dari sana kami lalu naik Bus ukuran lebih besar yang kemudian membawa kami ke kota Langsa. 4 jam kemudian tibalah kami di kota Langsa, ini kali kedua aku menginjakkan kaki ku di kota Langsa setelah 3 tahun yang lalu aku bersekolah di kelas 3 di SD 8 Kota Langsa. Sejak dari kampong aku telah diberitahukan bahwa aku akan disekolahkan di sekolah kejuruan setingkat SMP kala itu bernama ST (Sekolah Tehnik) lulusannya bisa langsung melanjutkan ke STM (Sekolah Tehnik Menengah). Namun sayangnya aku hanya bisa sekolah dua semester saja hingga naik kelas dua aku minta dipindahkan di kampong, aku lakukan ini bukan karena aku tak mampu menerima pelajaran karena kenyataannya aku dalam dua semester mendapat rangking 10 besar tapi lebih karena aku gak betah tinggal bersama kakah ipar yang irit, di semester kedua perangai dan keadaan kakak ipar yang tidak berubah membuat aku pindah dan indekos di rumah keluarga pak kumis persis di belakang rumah mereka yang ditempati oleh abang dan kakak ipar beserta dua anak lelaki mereka yang masih balita ditambah satu adik kandung kakak ipar dari peureulak. Di semester kedua tersebut setiap bulan bapak dari kampong datang bawa beras dan uang lauk pauk serta uang jajan, keadaan sedikit berubah baik di semester kedua karena aku tidak lagi mengalami kesulitan keuangan dan lagi aku tetap kerja di doorsmear dekat tempat tinggalku tersebut, bahkan aku bisa beli baju lebaran sendiri dari hasil bekerja paruh waktu tersebut.

Setelah aku dinyatakan berhasil naik ke kelas dua dan aku ditetapkan menduduki kelas jurusan mesin. Aku segera mengajukan surat pindah ke SMP di Krueng Geukueh biar aku dekat dengan kampong dan orang tua dan bisa bantu beliau di paruh waktu di sawah atau ladang setelah dari sekolah. Ketika aku ditemani bapak mendatangi SMP Krueng Geukueh alangkah terkejutnya aku ternyata aku di haruskan mulai di kelas satu lagi oleh salah seorang guru lelaki yang menemui aku dan bapak saat itu yang kemudian aku mengetahui Guru itu dipanggil pak Gatot, semula aku coba menerka-nerka apakah Gatot ini berupa singkatan dari ‘Gagal Total’ atau ada semcam akronim lainnya, ternyata aku salah total karena nama Gatot yang disandang Guru lelaki ini memang nama asli seperti tertera di ijazah dan dari cerita yang beredar beliau memang guru dikenal dengan perangai garang, tidak kompromis dan disiplin tinggi di SMP Krueng Geukueh. Akhirnya aku teringat sewaktu aku bawa surat pindah dari ST langsa untuk masuk di kelas dua di SMP ini dan diharuskan mulai dari kelas satu lagi dengan alasan mata pelajarannya jauh berbeda, walau kenyataannya setelah aku mulai sekolah aku dapati mata pelajarannya ya sama saja, dari bahasa inggris dasar hingga bahasa indonesia tidak ada perbedaan signifikan. Aku terpaksa harus ikut lagi penataran P4 dimana aku telah ikut saat ST dan aku punya sertifikatnya dan ikut lagi sedikit membosankan dan melelahkan namun ini adalah peraturan yang harus aku jalani bila ingin sekolah dan ingin menjadi pandai seperti cita-cita ku sebelumnnya. Selama dua semester aku lewati di kelas satu dengan mendapatkan rangking 10 besar aku sedikit bangga walau bukan rangking satu tapi paling tidak bersekolah di antara anak-anak komplek perusahaan sekaliber PT. ASEAN, PIM dan Arun mendapat rangking 10 besar sebagai anak kampong dengan segala keterbatasan termasuk bila malam mengerjakan PR dengan penerangan lampu teplok dari minyak tanah di tahun 1988 hingga 1995 di kampong yang dikelilingi oleh mega proyek raksasa seperti kusebutkan di atas sungguh ironi dan menyakiti hati, namun itulah kenyataan yang harus aku dan kebanyakan masyarakat lain hadapi saat itu, padahal hanya 4 kilometer saja dari rumah ku berdiri kokoh Pabrik yang konon katanya Pabrik Kertas dengan julukan terbesar di Asia, apa dinyana ketika pabrik sehebat itu hanya bisa mengeluarkan bau kimia yang menyengat dan memuntahkan mulut di kala pagi harinya dan pabrik yang hanya bisa menampung putra daerah sebagai tukang sapu, Satpam dan beberapa kerjaan ringan lainnya, ketika itu aku sering dengar bahwa putra daerah tak bisa diperkerjakan pada posisi lebih tinggi karena alasan pendidikan rendah, hal ini aku catat hingga aku telah menjadi sarjana walupun keinginan jadi sarjana bukan bercita-cita bekerja di pabrik Kertas tersebut, dan sayangnya setelah aku menjadi sarjana pabrik itu telah tutup karena faktor konflik dan kerapuhan ekonomi negeri tercinta ini, bahkan hingga aku menuliskan novel ini pabrik Kertas kebanggaan masyarakat Bandar Baro (dulu Nisam) Aceh Utara dan Indonesia tersebut masih belum beroperasi sejak kolep di beberapa tahun sebelumnya.
Setelah aku berhasil lulus ujian dan dinyatakan naik ke kelas dua, ekonomi keluarga semakin tak menentu. Karena kesehatan bapak semakin parah otomatis hanya ibu saja yang mengerjakan pekerjaan sawah, saat itu aku sering membatu mengolah sawah atau mencangkul untuk bisa ditanami padi, kami sengaja tidak menggunakan jasa traktor karena biar hemat biaya produksi sehingga uang tersebut bisa bayar uang sekolah ku dan ongkos transportasi aku ke sekolah. Di sela-sela sakitnya bapak masih sempat menanami sayuran bayam dan mentimun di kebun, memang tidak luas mengingat kondisi nya yang sakit, tetapi aku melihat usahanya yang keras untuk mengumpulkan empat ratusan rupiah saja sekedar uang transportasi aku dan kakak ku yang masih di kelas dua SMA di Krueng Geukuh sangat sulit dengan perekonomian kami saat itu. Menyadari hal tersebut aku dan kakak ku sering menumpang pick up proyek yang lewat di depan rumah biar uang transport bisa di alih fungsi ke uang saku, dan terkadang kami numpang Bus Sekolahnya Pabrik yang membawa anak-anak Kompleks sekolah di luar komplek seperti ke kota Lhokseumawe dan Krueng Geukueh, walau kadang mereka ada juga supir yang tidak mahu berhenti saat di stop, begitu juga saat pulangnya pemandangan seperti itu sudah biasa kami lewati setiap pagi dari senin hingga sabtu.
Beranjak dua bulan aku di kelas dua SMP aku memutuskan untuk tinggal di kota Lhokseumawe bekerja paruh waktu sebagai tukang becak barang dan memulung barang bekas di famili juga tetangga di kampong, aku juga berbaur dengan anak-anak jalanan saat itu di pasar Los Lhokseumwe di kenal dengan panggilan anak Kleung (Burung Elang), aku teringat suatu ketika di malam hari beberapa anak jalanan yang menjadi sahabat ku kita punya ide tiba-tiba untuk mengorek got atau paret yang mengalir di sepanjang jalan utama dan pasar los untuk mencari uang koin dan sendok makan, sendok kemudian kami bersihkan dan jual kembali ke penjual nasi dan tak jarang hanya menukarnya dengan sebungkus nasi. Aku lebih beruntung dibandingkan teman-teman jalananku tersebut, karena biarpun aku bergaul dan hidup seperti mereka tapi aku punya komitmen untuk tetap sekolah, menjelang pagi aku samperin rumah saudara dimana sebenarnya lebih cocok disebut gubuk untuk berkemas ke sekolah yang berdiri di antara bangunan Gudang lama di dekat pasar, mereka menyewa sebuah gudang besar di tempat tersebut untuk menampung semua barang bekas yang dibelinya dari hari ke hari hingga menggunung di gudang tersebut, aku pun bekerja paruh waktu memasukkan barang bekas belian mereka setiap sore hari ke gudang yang mereka sewa tersebut. Hal ini aku lakoni hinnga semester pertengahan semester dua di kelas dua, suatu hari aku di ajak bicara oleh seorang teman kelas keturunan Tionghoa yang ortu mereka buka toko di Keude Krueng Geukueh. Namanya Nurafni karena mereka sudah muslim jadi namanya sudah seperti nama orang aceh secara keseluruhan. Dia bilang “ Tam, kamu gak usahlah ikut-ikutan gaul dengan kelompoknya si A yang suka cabut sekolah dan keluyuran ke komplek-kompleks perumahan ASEAN apa untungnya bagi kamu, kamu kan anak pintar. Kasian aja lihat kamu seperti itu “. Aku kaget juga ternyata ada orang yang selama ini memperhatikan tingkah dan kelakuan ku walau pun dia tidak tahu sebenarnya setelah cabut aku langsung pulang dan kerja. Aku memang harus akui sejak aku tinggal dan menjadi tukang becak di kota Lhokseumawe kesempatan aku belajar di luar sekolah sudah tidak ada dan aku menyadari bahwa nilaiku semakin hancur di sekolah tapi bagi ku ini seperti buah simalakama. Aku tinggalkan kota lhokseumawe dan kembali kampong dengan resiko tak ada uang jajan dan harus lapar-lapar lagi sebagai mana aku telah alami sebelumnya atau bertahan di Lhokseumawe dengan uang jajan banyak tapi nilai di sekolah hancur. Aku bingung, tetapi hati ku menyatakan pulang saja ke kampong dan menjadi anak sekolahan seratusan persen kayak dulu lagi. Pikiran itu terus berkecamuk beberapa waktu lamanya hingga di suatu malam di bulan Ramadan pertama aku mendatangi meunasah kota di jalan perdagangan Kota Lhokseumawe saat aku shalat sunnat aku langsung sujuk dimana seharusnya rukuk, aku benar lupa dan tidak terkontrol, entah kenapa setelah kejadian itu aku semakin yakin dengan pilihan ku untuk kembali pulang ke kampong dekat dengan orang tua dan menerima resiko ekonomi apapun. Besoknya aku pamit kepada pemilik becak juga tempat dimana selama ini aku tinggal. Aku utarakan keinginan ku untuk melewatkan Ramadan di kampong dan menetap di sana seterusnya hingga aku menamatkan SMP. Malam-malam berikutnya aku lewatkan di kampong dengan selalu bertaraweh di meunasah atau surau bersama kawan-kawan kecil ku seperti dahulu sering kami lakukan dan setelah selesai shalat tarawih kami kumandangkan ayat-ayat suci Al-qur’an hingga menjelang sahur begitulah setiap malam hingga Ramadan selesai.
Menjelang Ujian akhir kelas tiga untuk kelulusan SMP, aku jatuh cinta kepada seorang perempuan tetangga kelas namanya Evie, aku buatkan surat cinta padanya sebelum ku kirimkan padanya aku minta masukan pada seorang abang di kampong kami yang baru setahun pulang dari kota gudeg Yogyakarta Azami namanya, dari dia aku juga banyak dengar cerita tentang Jogja dan jalan Malioboronya dimana 4 tahun kemudian aku sempat tertidur di jalanan tersebut karena memang seperti kata bang Azami jalan yang tak pernah tidur. Bang Azami ini disamping menjadi tempat aku curhat juga menjadi guru gitar bagiku tempat pertama aku mengenal senar-senar gitar dan beberapa lagu plus kuncinya. Saat-saat menunggu surat balasan dari Evie bila datang gelisah aku sering mendendang lagu di malam bulan langit terang bersama bang Azami di halaman rumah beliau yang rimbun, bang azami ini penggemar berat lagu-lagu nya Ebit G Ade, penyanyi asal Yogyakarta bahkan kalau aku mau jujur kalau bang Azami nyanyi persis duplikatnya Ebit namun karena perawakan bang Azami ini kecil maka dengan aklamasi langsung ketahuan kalau bang azami ini bukan lah Ebit yang penyanyi yogykarta itu kecuali suaranya saja yang persis sama plus petikan gitarnya.
Esok harinya pagi-pagi sekali aku ke sekolah, lalu aku datangi evie dan meberi isyarat bahwa aku ingin ngomong dengannya sambil aku berlalu dan dia mengikuti aku ke belakang gedung perpustakaan sekolah yang ditumbuhi pohon akasia, di sana sambil aku berdiri di bawah akasia dan evie masih berdiri di pondasi perpustakaan yang dilebihkan seperti trotoar. Aku tanyakan mengapakah dirinya tak membalas surat cinta ku, anehnya evie hanya diam dan sekali-kali tersenyum seperti orang dewasa sekali kesannya aku kok berhadapan dengan orang yang usianya sama namun berperangai bak sosok kakak Perempuan yang sudah matang jauh melebihi usianya. Mengalami stuasi pelik seperti itu aku akhirnya kikuk dan akhirnya hanya berkata “ya sudahlah kalau memang Evie tak mau bersuara, mungkin kamu memang tidak dapat menerima kehadiran ku dalam hari-hari mu” akhirnya cintaku bertepuk sebelah tangan, tanpa aku sadari pelan tapi pasti aku jadi orang yang kecewa, belajar jadi tak semangat hingga waktu ujian ebtanas tiba aku menjadi satu-satunya siswa yang tidak siap menghadapinya, aku seperti orang putus asa dan hilang harapan, aku pun sempat tak perduli lulus atau tidak, tapi saat pengumuman lulus aku tahu nama ku keluar sebagai salah satu siswa yang lulus walau dengan nilai pas-pasan. Berbekal nilai pas-pasan tersebut aku melamar ke SMA di Matang Glumpang Dua dan akhirnya aku di terima bersekolah di sana. Minggu awal bersekolah di SMA aku telah di sukai oleh seorang cewek dari kelas yang berbeda aku di kelas 1A dia kelas 1 C, ntah bagaimana awalnya aku kurang tahu, yang aku ingat tentang dia adalah saat penataran P4 sorenya ada kegiatan baris berbaris ketika istirahat di bawah pohon akasia yang ada di depan sekolah cewek yang kemudian ku kenal Ayoen mendekati tempat ku istirahat lalu ngobrol ntah bagaimana awalnya Ayoen berkata “Aku sukan lihat dagu mu” Cuma kalimat itu yang ku ingat hari itu.
Masa penataran P4 pun habis lalu mulailah sekolah regular dimulai, hari pertama masuk sekolah, alangkah terkejutnya aku ketika mengetahui Ayoen yang sedari tadi menunggu di dekat pintu sambil sekali-kali melihat ke dalam kelas ternyata menunggu aku hanya karena ingin pulang bareng walau dia tahu kalau aku arahnya bertentangan karena aku belok kiri dan dia belok kanan, tapi karena aku pun suka dengan Ayoen ya sudah aku pun menjalani saja rutinitas mengantar dia hingga ke tempat parkir sepeda nya yang ketika itu tidak diparkirkan di area sekolah melainkan di rumah-rumah penduduk yang berada di sekitar sekolah kami, Ayoen ini gadis sebuah desa yang lumayan jaraknya dari sekolah hingga harus melewati sungai yang titiannya pun hanya jembatan gantung peninggalan Belanda, Ayoen juga berasal dari keluarga berpendidikan, ayahnya adalah seorang kepala sekolah Madrasah di kampongnya Ayahnya juga sekaligus menjadi petugas BP3 (semacam panitia pengutipan biaya pembangunan) di sekolah kami, ibunya adalah seorang guru madrasah ditempat yang sama dengan ayahnya mengajar dan dia memiliki satu kakak perempuan yang saat itu sudah kelas dua di sebuah Aliyah di kota Peusangan sementara satu adik lelakinya duduk di SMP dan satunya lagi masih SD kelas 6.
Suatu hari di minngu ke 6 sekolah ketika Ayoen seperti biasanya menunggu aku keluar dari kelas lalu kemudian pulang bareng saat kami berjalan belum jauh dari pintu kelas di halaman sekolah ada anak lelaki yang ternyata selama ini menyimpan hati terhadap Ayoen, anak lelaki itu ternyata anak tahun lama karena tinggal kelas sehingga dia terpaksa masuk di kelas satu kembali dan sekelas dengan Ayoen, dan Ayoen tidak pernah cerita perihal ada lelaki sekelas yang suka paksa cinta padanya, si lelaki itu jelas sangat mengganggu ketentraman kami dianya seperti sangat memaksa kehendak berlebihan bahwa dianya ingin berpacaran dengan Ayoen, aku pun tak tahu babak-babak yang terjadi sebelumnya antara Ayoen dengan si Lelaki yang tinggal kelas itu, yang aku tahu saat itu Ayoen seperti mempertegas pilihannya dengan berkata “ kalau aku suka dan memilih Tampo menjadi pacar ku, emang ada apa dengan kamu” mendengar keberanian Ayoen memihak pada pilihannya aku hamper shock dan tak percaya keberanian Ayoen itu, aku seperti baru ditampar seribu jari halilintar dan mengalirkan ribuan Mega Watt listrik kedalam tubuhku menemukan betapa naifnya aku selama ini, membiarkan gadis se cantik Ayoen tanpa pernah mengutarakan atau mengatakan sepatah kata pun yang menyiratkan bahwa aku suka dia, sebagaimana ketegasan dan keberaniannya barusan menentang keinginan seorang lelaki yang tidak dia sukai dan menunjukkan keberpihakan kepada seorang pilihannya, paling tidak demikian kesimpulan yang ku coba simpulkan dalam waktu yang singkat itu. Setelah hari itu aku sudah lebih berani menunjukkan bahwa aku suka Ayoen, aku menjadi orang yang paling senang di SMA saat itu pikirku ini mungkin balasan dari stress selama 3 bulan menjelang lulus di SMP karena di tolak cinta namun kali ini malah cinta yang mendatangi dan memilih dan menunjukkan dirinya. Namun kesenangan itu ternyata tidak lama bertahan setelah tiga bulan pertama Ayoen sudah tidak rutin lagi seperti dulu menjemput aku, aku pun mencoba mendatangi kelasnya mungkin saja harapku dia masih di kelas, beberapa kali aku lakukan itu ternyata Ayoen tidak kutemukan di kelas, Aku mendengar desas desus kalau gadisku telah ingkar dan berkhianat pada ku dan dirinya sendiri, karena telah berani menerima ajakan lelaki yang dulu pernah di tolaknya dan memilih aku itu kini malah berboncengan ke sana kemari dengan sepeda motor baru milik si Lelaki, mengetahui hal itu aku mencoba berpikir positif, aku menunggu penjelasan dari Ayoen tapi dia tak pernah memberi penjelasan tentang perubahan pendiriannya itu malah keesokan harinya aku menemukan Ayoen di bonceng oleh lelaki perlente yang memiliki sepeda motor dan tinggal kelas itu di depan mataku seperti dianya ingin mengatakan bahwa gadis mu telah berhasil ku rebut dengan sepeda motor keluaran terbaru saat itu, waktu itu aku benar sudah berpikiran negatif dan down karena kalau memang Ayoen berubah ke lelaki parlente itu karena sepeda motor tentu aku tidak punya cukup uang untuk membeli sepeda motor agar Ayoen dapat kembali padaku aku pun kembali lirih dalam laraku sendiri, ah nasib ku berkata dalam hati. Beberapa hari selanjutnya setelah dari kelas ada acara sekolah dan pulangnya agak terlambat dari biasanya, aku mendapati Ayoen sedang tidak bersama lelaki parlente, lalu aku menawarkan diri mengantarnya pulang, kali ini aku memilih jalan belakang sekolah menyusuri sungai lebih tepatnya irigasi buatan menuju tempat parkiran sepeda Ayoen, sesaat sebelum sampai di parkiran sepeda aku memberanikan diri berbicara dan tanpa memberinya pilihan bahwa aku bilang sejak hari ini kita berpisah saja karena sudah tak cocok dengan dia dan aku buka dompet lusuh sambil ku keluarkan sapu tangan merah hati yang entah kapan dia memberikannya pada ku hari itu aku kembalikan dengan persaan marah, sedih dan lara. Aku marah karena aku telah di khianat oleh orang yang telah memilihku untuk menjadi pacarnya dan laraku karena aku tak pernah mendapatkan penjelasan atas pengkhianatan demi pengkhianatan juga lirih ku karena aku tak akan mampu untuk membahagikan dia apabila memang sepeda motor telah mampu membuat dia bahagia dan mampu merubah pilihannya, ah!Betapa dungunya aku. Setelah hari itu kami memang tak pernah kembali lagi bersama apalagi walau di kelas dua dan tiga kami dipersatukan dalam satu kelas oleh penjurusan yang kami dapatkan dari guru wali kelas yaitu di kelas Fisika, hanya ada satu kelas jurusan fisik saat itu ada 2 kelas untuk jurusan biologi dan 4 kelas untuk ekonomi dan satu kelas untuk Budaya.
Hari-hari berikutnya selama kelas satu Ayoen memang terlihat lebih sering dengan lelaki parlente itu, namun tidak berlangsung lama hanya sampai semester pertama, aku tak tahu dengan siapa Ayoen berpacaran di semester ke dua bahkan hingga di satu ruangan di kelas dua pun aku tak tahu dia berpacaran dengan siapa, aku tak pernah lihat dia dekat dengan lelaki lain secara mendalam, Ah! Aku masa bodoh saja, setelah berpisah dengan Ayoen dan sempat down beberapa minggu aku kembali semangat belajar hingga mengejar ketertinggalan ku dan aku bahkan bisa jadi juara kelas di kelas satu. Kemudian begitu juga di kelas dua hingga kelas tiga aku selalu mendapat rangking dua di kelas, hanya satu orang yang tak pernah bisa aku kalahkan adalah si Marsidi anak Touke udang dan mengelola beberapa buah toko di kampongnya. Si Marsidi memang cepat dalam berhitung dan ilmu pasti tetapi dia lemah di mata pelajaran biologi dan sejarah juga geografi dan beberapa pelajaran non exact lainnya sementara aku sebaliknya. Nah dengan si marsidi ini lah saat awal kelas tiga aku menemukan Ayoen dekat dan aku tahu kemudian mereka berpacaran tapi lagi-lagi gak berlangsung lama karena si Marsidi kemudian aku tahu di akhir sekolah di kelas tiga malah dekat dan berpacaran dengan cewek dari kelas dua karena kedekatan dikepengurusan OSIS sekolah. Aku sendiri juga sempat pacaran tidak serius dengan seorang cewek sekelas di awal kelas tiga yang kemudian dianya amat serius, lalu aku yang jadi serba susah melepaskan diri dan bahkan tak mau terima pernyataan putus dari Aku. Aku pun kehabisan akal kebetulan di akhir kelas tiga setelah ujian saat-saat menunggu masa pengumuman dan penerimaan ijazah aku sering mudik pulang pergi sekolah dari kampong saat itu ada cewek satu SD dulu kemudian dekat dan berpacaran dengan aku stuasi ini aku gunakan untuk mempertegas hubungan ku dengan Azwa cewek sekelas yang tak mahu terima pernyataan putus ku suatu hari sengaja aku dan pacar baru ku berangkat bersama dari kampong satu bus ke sekolah ku dengan pakaian seragam sekolah aku minta dia bolos satu hari, karena toh tak ada kegiatan belajar mengajar, dianya setuju maka pergilah dia ke sekolah ku, aku dapati si Marsidi dengan pacar barunya di ruangan kelas saat ruangan sudah sepi dan sekolah sudah bubar, aku juga ikutan di ruangan yang sama hanya ada aku dan Marsidi bersama pacar masing-masing eh tiba-tiba Azwa datang melabrakku dengan kata-kata menyudutkan dan kemudian berlalu awalnya kami shock juga tapi kejadian barusan adalah hal yang semula aku harapkan terjadi, aku buat ini biar dia marah dan melupakan aku. Sejak hari itu antara aku dan Azwa memang sudah tidak saling mencoba bertemu dan bicara dan bagi ku hubungan ku dengannya sudah selesai di situ, dan berapa minggu setelahnya kami dinyatakan lulus di tahun 1994.
Sebelumnya aku sempat menerima panggilan PBUD (penyaringan bibit unggul daerah) sebagai salah seorang siswa yang mendapat kesempatan tersebut tentu aku sangat senang walau akhirnya aku tak bisa tembus jalur ini untuk sekolah di jurusan tehnik sipil UGM, kemudian dengan kemampuan dana seadanya hasil penjualan sapi yang dipelihara ibu selama ini aku putuskan mendatangi kota Yogyakarta dan sejak saat itu pula aku putus komunikasi baik dengan Ayoen, Azwa bahkan dengan pacar baru ku di kampong Karrani. Di Yogyakarta Aku ikut tes langsung di UGM pada jurusan yang sama seperti aku ambil di PBUD dan tetap tidak lulus juga, aku juga ikut program D3 di UGM namun kali ini bukan lagi tehnik namun sosial tepatnya D3 Komunikasi dimana akhirnya aku dipanggil di Perguruan Tinggi lain dengan bebas tes masuk, ini memang agak aneh tidak lulus di UGM malah dapat surat undangan di kampus lain dengan bebas tes, hebat berkata dalam hati ku. Aku pun memberitahukan perihal berita ini ke kampong bahwa aku telah diterima kuliah di salah satu PTS (perguruan tinggi swasta) di Yogyakarta, ibu dan kakak ku menyatakan setuju aku kuliah dan akhirnya jadilah aku mahasiswa Akademi Komunikasi di Yogyakarta specialisasi penyiaran radio dan televisi.
Tampo Bin Tambo, Sebuah Novel yang belum selesai Tampo Bin Tambo, Sebuah Novel yang belum selesai Reviewed by Presiden Kacho on 00.03 Rating: 5

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.